Laman

Selasa, 21 Desember 2010

Mamo dan Ikan

Aku adalah Simamora, tapi semua orang memanggilku dengan sebutan Si Mamo. Aku kini duduk di kelas 1 SMP. Pagi ini aku sangat beremangat bersekolah, entah apa yang akan terjadi tapi aku sungguh bergejolak bagai api yang membara. Keluar dari kamar, aku segera berlari menuju meja makan dengan harapan makanan kesukaanku sudah disiapkan oleh mamaku tercinta.
“Mama, aku lapar. Mana makanannya?” tanyaku dengan manja.
“Ini makanan spesial untuk anak mama yang pintar.” Jawabnya sambil membawa sepiring ikan kakap goring dengan sambal terasinya.
Melihat setumpuk ikan amis di atas piring itu nafsu makanku menjadi hilang ditiup aroma ikan yang sungguh menjijikkan. Aku sangat membenci ikan karena aku tidak suka dengan rasa dagingnya yang amis durinya yang selalu menyangkut di tenggorokkan ku yang membuat suara merduku menjadi seperti burung kakaktua. Masih aku ingat pertama kalinya aku makan malam dengan ikan goreng. Baru saja aku menelan ikan pada suapan pertama, aku tersedak karena durinya menyangkut di tenggorokkanku, aku menangis kencang karena saat itu aku masih berusia 7 tahun. Aku menangis sampai besoknya suaraku hilang selama dua hari. Karena itulah aku tidak pernah mau makan jika yang tersedia adalah ikan.
“Mama, tega banget masakin ikan buat aku.” Ujarku dengan marah.
“Sekali-kali kamu belajar makan ikan, ikan itu bagus biar kamu tambah pintar. Katanya kamu mau ikut Olympiade Fisika.” Rayunya
“Bodo! Aku gag suka, yah gag suka!”
“Sudahlah makan saja yang ada, tidak baik membuang-buang makanan seperti itu. Ayo cepat makan! Kamu lapar kan?”
“Lebih baik aku tidak makan daripada harus tersedak duri ikan dan akhirnya aku tidak bersekolah sampai berhari-hari.” Ujarku sambil pergi keluar mengambil sepedaku.
“Mau kemana kamu? Mamo.. Mamo.. Habiskan dulu makananmu!” Panggil mama denga wajah marahnya.
“Gag mau mama. Aku gag doyan dengan makanan amis seperti itu. Aku berangkat!” teriakku sambil mengayuh sepeda keluar pagar.
Sepulang dari sekolah, aku bersepeda dengan teman-temanku. Awalnya kami bersepeda dengan santai, sampai akhirnya Yoga mengajakku balapan sepeda.
“Siapa yang duluan sampai di jembatan di depan pasar itu maka dia akan aku belikan coklat. Tapi jika aku kalah, maka kalian yang harus membelikan aku coklat. Setuju?” Ajaknya sambil memamerkan sebatang coklat kacang yang tak mungkin ditolak oleh ku.
“Tentu saja setuju. Siapa takut!” Ucapku semangat.
“Satu.. Dua.. Tiga..”
Kami pun bersepeda dengan kecepatan penuh. Sesekali kami harus ngerem mendadak ketika melewati pasar yang sangat ramai. Hampir saja aku menabrak seorang ibu yang sedang berbelanja di pasar. Kemudian aku melihat semua temanku yang sudah berada jauh di depan. Ku kayuh lagi sepedaku dengan lebih cepat dan hampir membalap mereka ketika berbelok ke arah jembatan meninggalkan pasar. Tapi seorang anak perempuan yang membawa sebuah bakul berisi ikan muncul dari arah yang berlawanan dan sekarang di depanku. Aku beusaha untuk mengerem dan memberhentikan sepedaku, tap aku tak bisa mengendalikan sepedaku yang masih melaju dengan cepat dan dia semakin dekat di depanku terpaku melihatku dan sepedaku melaju ke arahnya, ia pun berteriak dan akhirnya aku terjatuh dari sepedaku. Setelah sadar aku selamat, aku pun bangun dan baru merasakan perih dari luka-luka di kulitku. Ingin sekali rasanya aku menangis sambil memanggil mamaku sampai ia benar-benar ada disini menolongku. Tapi aku baru ingat, aku sudah kelas 1 SMP dan tak mungkin aku melakukan itu di depan teman-temanku dan alasan kedua karena aku mendengar anak perempuan yang aku tabrak menangis tepat di depanku.
“Hu..Hu..Hu.. Bagaimana ini semua ikan-ikan ini tidak mungkin bisa dijual lagi.” Ujar anak itu dengan pasrah sambil meratapi nasibnya.
“Ini semua untuk dijual?” tanyaku.
“Iya ini semua akan ku bawa ke pasar untuk dijual oleh bapak. Tapi sekarang tidak ada satu pun ikan yang bisa dijual.” Anak itu kembali menangis. Ia sama sekali tida memperhatikan luka-luka yang ada di tubuhnya. Yang ia pedulikan hanya ikan-ikan yang berceceran di atas jembatan itu. Aku terdiam dan sangat ingin menangis memanggil mamaku. Aku pun bingung harus bagaimana. Semua temanku pun hanya menonton kesedihan kami saja diatas jembatan.
“Aku benar-benar minta maaf. Aku mohon maafkan aku. Sebaiknya kita obati dulu luka mu. Bagaimana kalau kita ke rumah ku?” Ujarku.
“Aku tidak mau. Aku harus pulang dan kembali mencari ikan untuk dijual kembali.” Ucapnya sambil bangun mengambil bakulnya.
“Aw.. Aduh perih.” Ia baru menyadari rasa perih dari luka-lukanya.
“Aduh, aku antar kau pulang ke rumah yah? Aku benar-benar sangat menyesal.”
“hmm.. Baiklah.” Ku lihat diwajahnya malu, takut dan marah bercampur aduk.
Untuk membayar semua dosa-dosaku, ku antar saja dia ke rumahnya. Dan akhirnya sampai juga di rumahnya yang kecil, kumuh dan hampir tak layak untuk dikatakan sebuah rumah. Dia pun turun dari sepeda ku dan segera masuk ke dalam rumahnya. Aku sambil menuntun sepedaku masih berdiri patung di depan rumah itu dan aku semakin merasa berdosa.
“Ayo silahkan masuk! “ Ajak anak itu dengan malu. Aku pun segera memakirkan sepedaku di halaman rumahnya.
“Loh, cepat sekali kamu pulang mita?” Tanya seorang wanita yang baru saja keluar dari rumah itu, mungkin itu ibunya.
“Ibu, maafkan Mita. Hu..hu..hu..” Anak itu keembali menangis. Dan sebelum anak itu meneruskan perkataannya, aku meneruskan perkataanya sebagai pertanggung jawaban.
“Sebenarnya yang salah adalah saya bu. Saya menabrak dia waktu saya bersepeda dengan kencang di jembatan dekat pasar hingga seluruh ikan dagangannya terjatuh semua dan tidak layak untuk dijual lagi. Saya sangat meminta maaf bbu.” Aku pun menangis di hadapan wanita itu sangat menyesali semua perbuatan bodoh ku ini.
“Yasudahlah ndo’ jangan terlalu dipikirkan, uang masih bisa dicari sekarang. Lebih baik kalian obati dulu luka kalian. Ayo silahkan masuk ndo’.” Jawab wanita itu dengan penuh kasih sayang.
“Terima kasih ya ibu!” Jawabku.
Akhirnya aku dan teman baruku itu diobati bersama oleh ibunya. Aku sangat terkesan melihat keikhlasan mereka dan aku ingin sekali membantu mereka. Setelah diobati, aku dan Mita segera menuju sungai untuk mencari ikan lagi. Kami pun sampai di sungai itu.
“Kamu yakin disini ada ikan?” Tanyaku melihat air sungai yang begitu tenang.
“Lihat aku ya!” Perintahnya. Dengan menggunakan jaring kecil, ia menangkap seekor ikan yang besar sambil bersorak gembira kearahku.
“Wow.. Besar sekali ikannya. Boleh aku coba?” Pintaku.
“Boleh.. Silahkan!” Ucapnya sambil memberikan jaring kecil itu kepada ku.
Hari itu adalah hari yang sangat menyenangkan bagi ku dan Mita karena kami sama-sama menemukan sahabat baru yang menyenangkan dan kami pun mendapat tangkapan ikan yang lumayan banyak. Ketika sampai di rumah Mita, aku baru sadar kalau langit sudah berubah menjadi sore dan aku harus segera pulang. Dan aku berjanji kepadanya akan kembali lagi hari minggu besok dan akan menghabiskan waktu bersamanya lagi mencari ikan yang lebih banyak lagi.
“Mamo, besok kamu harus nyobain ikan goreng buatan ibuku. Oke?”
“Ah.. ikan goreng??” Aku menelan ludah sebentar. “Baiklah Mita besok kau harus mau membagi ikan goreng untukku ya!”
“Iya pasti.. Sampai jumpa besok Mamo!”
“Iya aku akan ksini besok!”
Besoknya aku kembali ke rumah Mita tapi sayangnya aku sama sekali tidak melihat mereka ada di rumah. Setelah ku tanyakan pada tetangganya ternyata Mita semalam pergi dengan ibu dan bapaknya ke kampung karena mereka tidak sanggup lagi meneruskan hidup di kota. Aku sangat sedih mengetahui hal itu, padahal aku sudah membawa kado istimewa untuk Mita yaitu biaya sekolah gratis dari kedua orang tuaku sebagasi tanda maaf atas kesalahanku kemarin. Aku akhirnya menangis dengan memanggil mamaku walaupun mamaku tidak juga muncul di depan ku. Dan akhirnya aku menyerah dan pulang.
Tiga bulan kemudian ketika aku keluar dari kelas dan segera menuju ke sepedaku untuk pergi pulang, aku dipanggil oleh teman-temanku.
“Mamo.. Mamo.. ada anak cewe mencarimu di gerbang nyariin kamu.”
“Ah.. siapa??” Tanyaku penasaran.
“Aku gag tau!”
Dengan menuntun sepedaku, aku pun menghampiri anak perempuan itu dan aku pun sadar bahwa dia adalah Mita.
“Mitaaa..!!” Panggilku bahagia.
“Hai Mamo, apa kabar?”
“ Aku baik-baik saja. Bagaimana dengan kamu dan kedua orang tuamu?”
“Aku dan dia baik-baik saja.” Dia pun tersenyum.
“Aku datang kesini ingin mengajak mu makan bersama di pinggir sungai. Ini makananya sudah aku siapkan.” Ujar Mita dengan membawa sebuah keranjang makanan.
“Wow.. baiklah. Kebetulan aku sangat lapar.”
Akhirnya kami tiba di pinggir sungai dan Mita memberikan piring beserta makana diatasnya yaitu nasi, ikan goreng dan sambalnya. Sebelum memakan ikan itu, aku menelan ludahku dengan berat dan akhirnya aku mulai mencoba memakannya. Sungguh enak sekali rasanya. Bumbunya benar-benar meresap ke daging ikannya dan akhirnya aku lhap menyantap semua ikan itu sampai habis. Tapi tiba-tiba aku merasakan sangat sulit menelan suapan terakhir dan aku sadar sebuah duri lagi-lagi tersangkut di tenggorokkan ku. Mita segera memberikan air putih untukku dan masalah selesai duri ikan itu tidak lagi tersangkut di tenggorakkan ku dan mulai saat itu aku sangat mnyukai ikan sampai tak pernah bosan setiap hari aku selalu makan lauk yang sama yaitu ikan.




















Mamo dan Ikan
Karya:
Eva Octa Maulany